Tambang Ilegal di Jelitik: Diduga Libatkan Eks TNI dan ASN DLHK Babel, Nelayan Terganggu

SUNGAILIAT, BANGKA – Aktivitas tambang timah ilegal di kawasan pesisir pantai industri Jelitik Rambak, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, menjadi sorotan masyarakat.
Pada Selasa (13/5/2025), puluhan ponton tambang timah terpantau beroperasi di perairan dekat Dermaga Jelitik. Aktivitas ini menimbulkan keresahan di kalangan nelayan setempat karena diduga telah berlangsung cukup lama dan berpotensi merusak lingkungan laut serta menimbulkan konflik sosial.
Menurut keterangan warga, lokasi tambang tersebut berada di area yang sangat dekat dengan jalur tradisional nelayan dan kawasan industri Jelitik. Selain mencemari laut, aktivitas ponton-ponton ini dinilai mengganggu aktivitas perikanan.
“Sekarang ponton sudah masuk sampai ke tepi pantai, dekat sekali dengan jalur perahu kami. Air jadi keruh dan ikan susah didapat,” ujar JN, seorang nelayan setempat, Selasa (13/5/2025).
Masih menurut informasi dari masyarakat, aktivitas tambang tersebut diduga dikoordinasikan oleh seorang pria bernama Suharto, yang disebut-sebut merupakan mantan anggota TNI.
Dalam sebuah video berdurasi 9 menit 41 detik yang diterima redaksi, terlihat seseorang yang disebut sebagai Suharto memimpin massa mendatangi warga dan nelayan yang keberatan dengan keberadaan tambang ilegal. Dalam video itu, pria tersebut meminta agar aktivitas pertambangan tetap berjalan, dan menyebut dirinya seorang praktisi hukum.
“Saya ini pengacara. Silakan laporkan ke Mapolres maupun Mapolda,” ujarnya dalam video tersebut.
Saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon WhatsApp, pria bernama Suharto mengaku pernah menjadi koordinator tambang, namun membantah masih aktif hingga saat ini.
“Memang dulu saya yang urus, tapi itu sudah tiga bulan lalu. Setelah ada imbauan dari Wakapolda, saya mundur,” katanya.
Ia juga menyebut bahwa saat ini tambang dikelola oleh orang lain yang disebut berasal dari institusi tertentu.
Dalam pernyataannya, Suharto menyebutkan inisial oknum dari salah satu institusi berwenang sebagai pihak yang saat ini mengelola tambang dengan sistem “cantingan”.
Namun, saat dihubungi, oknum yang namanya disebut justru menyatakan keterkejutannya dan membantah keterlibatannya.
“Saya tidak tahu ada tambang di sana. Nama saya tidak seharusnya dibawa-bawa,” katanya kepada redaksi.
Surat Legalisasi dan Peran Oknum ASN DLHK Babel
Nama Hendrawanto alias Een juga disebut-sebut dalam laporan masyarakat sebagai pihak yang mengupayakan legalisasi aktivitas tambang di kawasan Industri Jelitik. Een disebut telah mengirim surat kepada Gubernur dan Kapolda Babel tertanggal 5 Mei 2025, berisi permintaan agar aktivitas pertambangan dilegalkan dengan menyebut dukungan dari Pj Bupati dan Kapolres Kabupaten Bangka.
Surat tersebut diketahui dikonsep dan dibuat oleh Gustari, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Babel yang bertugas di UPTD Bubus Panca.
Saat dikonfirmasi, Gustari membenarkan bahwa ia menyusun surat tersebut, namun menyatakan bahwa ia tidak mengetahui bahwa aktivitas pertambangan telah dimulai.
“Benar saya yang konsep surat itu, tapi saya tidak tahu kalau mereka sudah mulai bekerja. Saya sempat bilang ke Een, sebelum mulai kerja, kumpulkan dulu para penambang itu. Tapi mereka langsung kerja. Saya tidak tahu soal itu,” kata Gustari.
Dampak Lingkungan dan Potensi Konflik Sosial
Aktivitas tambang yang berlokasi di sekitar kawasan industri dan pesisir ini dikhawatirkan menimbulkan dampak ekologis jangka panjang, seperti pencemaran laut, sedimentasi, dan hilangnya biota laut. Selain itu, konflik antar warga pun mulai muncul akibat perbedaan sikap terhadap tambang.
Nelayan yang menggantungkan hidup dari laut merasa terpinggirkan dan menuntut agar aparat penegak hukum mengambil tindakan tegas.
Hingga berita ini diturunkan, redaksi masih berupaya menghubungi pihak Kepolisian Resor Bangka dan Pemerintah Kabupaten Bangka untuk memperoleh konfirmasi dan tanggapan resmi terkait aktivitas tambang ilegal serta dugaan keterlibatan sejumlah pihak dalam koordinasi tambang tersebut.
Kasus tambang ilegal di Kawasan Industri Jelitik menunjukkan bahwa persoalan lingkungan tidak hanya berkaitan dengan alam semata, tetapi juga persoalan tata kelola, integritas, dan penegakan hukum.
Ketika lembaga yang seharusnya menjaga kelestarian lingkungan justru terlibat, dan hukum tidak segera ditegakkan, maka kerusakan bisa menjadi permanen.
Masyarakat berharap, penegakan hukum bukan hanya berlaku kepada rakyat kecil, tetapi juga kepada siapa pun yang melanggar aturan — siapapun dan dari institusi manapun. (GM)